Assalamualaikum wr.wb

Semoga bermanfaat.....^-^

Suppositoria


Definisi Suppositoria
Suppositoria menurut FI edisi IV adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rectal, vagina atau urethra, umumnya melunak, meleleh atau melarut dalam suhu tubuh. Suppositoria umumnya dimasukkan melalui rectum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang melalui telinga dan hidung. Bentuk dan beratnya berbeda-beda. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lubang atau celah yang diinginkan tanpa menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan begitu masuk, harus dpat bertahan untuk suatu waktu tertentu. Suppositoria untuk rectum umumnya dimasukkan dengan jari tangan, tetapi untuk vagina khususnya vaginal insteril atau tablet vagina yang diolah dengan cara kompresi dapat dimasukkan ke dalam vagina dengan bantuan alat khusus. Bahan dasar yang sering digunakan adalah lemak coklat (oleum cacao), polietilen glikol, atau lemak tengkawang atau gelatin.bobot suppositoria kalau tidak dinyatakan lain adalah 3 gr untuk orang dewasa dan 2 gr untuk anak.supositoria supaya disimpan dalam wadah tertutup baik dan ditempat yang sejuk. Bentuk torpedo mempunyai keuntungan, yaitu bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup dubur, maka supositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya. Penggunaan obat dalam supositoria ada keuntungannya dibanding penggunaan obat per  os , yaitu :
·         Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
·         Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan
·         Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih cepat daripada penggunaan obat per os
·         Bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar
1.2  Isi berat dari supositoria dapat ditentukan dengan
·         Menimbang obat untuk sebuah supositoria
·         Mencampur obat tersebut dengan sedikit bahan dasar yang telah dilelehkan
·         Memasukkan campuran tersebut dalam cetakan
·         Menambah bahan dasar  yang telah dilelehkan sampai penuh
·         Mendinginkan cetakan yang berisi campuran tersebut.setelah dingin supositoria dikeluarkan dari cetakan dan ditimbang
·         Berat supositoria dikurangi berat obatnya merupakan berat bahan dasar yang harus ditambahkan
·         Berat jenis obat dapat dihitung dan dibuat seragam
Untuk menghindari masa yang hilang maka selalu dibuat berlebih dan untuk menghindari masa yang melekat pada cetakan maka cetakan sebelumnya dibasahi dengan  parafin ,miyak lemak,spritus saponatus .yang terakhir jangan digunakan  untuk supositoria yang mengandung garam logam , karena akan bereaksi  dengan sabunnya dan sebagai pengganti dapat digunakan larutan oleum ricini dalam etanol.untuk supositoria dengan bahan dasar PEG dan tween tidak perlu bahan pelicin karena pada pendinginan mudah lepas dari cetakan  karena mengkerut.
1.3  Syarat basis yang ideal
a.               Melebur pada temperature rectal
b.               Tidak toksik, tidak menimbulkan iritasi dan sensitisasi
c.                Dapat dicampur dengan berbagai obat
d.               Tidak terbentuk metastabil
e.               Mudah dilepas dari cetakan
f.                 Memiliki sifat pembasahan dan emulsifikasi
g.               Bilangan airnya tinggi
h.               Stabil baik secara fisika ataupun kimia
i.                 Tidak mempengaruhi efektivitas obat
j.                 Memberi bentuk yang sesuai untuk memudahkan pemakaiannya
k.                Mempengaruhi pelepasan bahan aktif . Pelepasan yang cepat dibutuhkan apabila bahan aktif untuk tujuan secara sistemik, dan pelepasan yang lebih lambat apabila bahan aktif untuk tujuan local. Cara fabrikasi mudah

1.2        Faktor pemilihan basis suppositoria
A.     Selama produksi
1.      Kontraksi. Sedikit kontraksi pada saat pendinginan volume suppositoria diinginkan untuk memudahkan pengeluaran dari cetakan
2.      Ke-inert-an. Tidak boleh ada interaksi kimia antara basis dengan bahan aktif
3.      Solidifikasi. Interval antara titik leleh dengan titik solidifikasi harus optimal : jika terlau pendek maka penuangan lelehan ke dalam cetakan akan sulit ; jika terlau panjang waktu solidifikasi akan menjadi lama sehingga laju produksi suppositoria akan menurun.
4.      Viskositas. Jika viskositas tidak cukup, komponen terdispersi dari campuran akan membentuk sedimen

B.      Selama penyimpanan
1.      Ketidakmurnian. Kontaminasi bakteri/fungi harus diminimalisir dengan basis non-nutritif dengan kandungan air minimal.
2.      Pelembekan. Suppositoria harus diformulasi agar tidak melembek atau meleleh selama transportasi atau penyimpanan. Stabilitas. Bahan yang dipilh tidak teroksidasi saat terpapar udara, kelembapan atau cahaya.

1.3        Hal-hal yang diperhatikan  untuk pemilihan basis suppositoria
a.      Asal dan komposisi kimia
b.      Rentang pelelehan
Spesifikasi suhu leleh basis suppositoria(terutama basis lemak) menyatakn suatu rentang suhu leleh daripada suatu ititk leleh tunggal. Hal ini karena terdapat suatu rentang suhu antara bentuk stabil dan tidak stabil, suatu hasil dari polimorfisme dari bahan tersebut. Penambahan cairan ke dalam basis umunya cenderung menurunkan suhu leleh dari suppositoria akhir, sehingga disrankan penggunaan basis dengan suhu leleh lebih tinggi. Sedangkan, penambahan sejumlah besar serbuk fine akan meningkatkan viskositas produk, sehingga diperlukan basis dengan suhu leleh yang lebih rendah.
c.       Titik pemadatan
d.      Bilangan saponifikasi
e.      Bilangan iodide
Oksidasi basis supositoria dapat menjadi masalah. Karena sensitivitas dari jaringan mukosa rectal dan potensinya terpapar basis suppositoria yang meleleh, maka antioksidan yang memiliki potensi mengiritasi tidak dianjurkan digunakan dalam suppositoria. Untuk mencegah penggunaannya, sebaiknya digunakan basis dengan bilangan iodine <3 ( dan lebih diutamakan <1)
f.        Bilangan air(jumlah air yang dapat diserap dalam 100 g lemak)
g.      Bilangan asam
h.      Solid-Fat-Index( SFI)
i.        Bilangan hidroksil
Bahan yang memiliki bilangan hidroksil yang rendah juga memberikan stabilitas yang lebih baik dalam kasus dimana zat aktif sensitive terhadap adanya radikal hidroksi.

1.4        Pembuatan suppositoria
Suppositoria dibuat dengan 3 metode, yaitu : Pembuatan dengan cara mencetak, kompresi dan  digulung serta dibentuk dengan tangan. Metode yang sering digunakan pada pembuatan suppositoria baik dalam skala kecil maupun skala industry adalah dengan pencetakan.

1.      Pembuatan dengan cara mencetak
Pada dasarnya langkah-langkah dalam metodepencetakan termasuk:
a)      Melebur basis
b)      Mencampurkan bahan obat yang diinginkan
c)      Menuang hasil leburan ke dalam cetakan
d)      Membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental menjadi suppositoria
e)      Melepaskan suppositoria dengan oleum cacao, gelatin gliserin, polietilen glikol, dan banyak basis suppositoria lainnya yang cocok dibuat dengan cara mencetak.
Cetakan suppositoria terdapat di pasaran dengan kemampuan produksi satu per satu atau sejumlah tertentu suppositoria dari  berbagai bentuk dan ukuran. Untuk membuat suppositoria satu per satu bisa digunakan cetakan dari plastic. Cetakan-cetakan lainnya seperti yang umum di dapatkan di Apotek dapat menghasilkan suppositoria 6, 12 atau lebih dalam 1 x pmbuatan. Cetakan yang digunakan di industry menghasilkan ratusan suppositoria dari suatu pencetak tunggal. Cetakan yang umum digunakan sekarang terbuat dari stainless steel, alumunium, tembaga atau plastic. Cetakan yang dipisah-pisah dalam sekat-sekat umumnya dapat dibuka secara membujur untuk membersihkan sebelum dan sesudah pembuatan satu batch suppositoria. Pada waktu leburan dituangkan, cetakan ditutup dan dibuka lagi bila akan mengeluarkan suppositoria yang sudah dingin. Harus berhati-hati dalam membersihkan cetakan ini, sebab satu goresan kecil sajaterjadi pada permukaan cetakanakan menghilangkan kelicinan suppositoria yang dihasilkan. Terutama cetakan dari bahan plastic sangat mudah dihasikan.
Pelumasan cetakan. Tergantung pada formulasinya, cetakan suppositoria mungkin memerlukan peumasan sebelum leburan dituangkan ke dalamnya, supaya bersih dan dan memudahkan terlepasnya suppositoria dari cetakan. Pelumasan jarang diperlukan bagi suppositoria dengan basisoleum cacao, atau PEG, karena bahan ini cukup untuk menciut begitu dingin dalam cetakan, sehingga akan terlepas dari permukaan cetakan dan mudah dikeluarkan. Pelumasan biasanya diperlukan bilamana membuat suppositoria dengan basis gelatin gliserin. Lapisan tipis dari minyak mineral dioleskan dengan jari pada permukaan cetakan, biasanya cukup untuk suatu pelumasan. Harus diingat bahwa bahan-bahan yang mungkin menimbulkan iritasi terhadap membrane mukosa seharusnya tidak digunakan sebagai pelumas cetakan suppositoria.
Kalibrasi cetakan. Langkah pertama dalam kalibrasi cetakan yaitu membuat dan mencetak suppositoria dari basis saja. Cetakan dikeluarkan dari cetakan rata-ratanya ( bagi pemakaian basis tertentu ). Untuk menentukan volume cetakan suppositoria tadi lalu dilebur dengan hati-hati dalam gelas ukur dan volume leburan ini ditentukan untuk keseluruhan dan rata-ratanya.

2.      Pembuatan dengan cara kompresi
Suppositoria dapat juga dibuat dengan menekan massa yang terdiri dari campuran basis dengan bahan obatnya dalam cetakan khusus memakai alat / mesin pembuat suppositoria. Dalam pembuatan dengan cara kompresi dalam cetakan, basis supositoria dan bahan lainnya dalam formula dicampur / diaduk dengan baik, pergeseran pada proses tersebut menjadikan suppositoria lembek seperti kentalnya pasta. Dalam pembuatan skala kecil digunakan mortar dan alunya, apabila mortar ini dipanaskan dalam air hangat sebelum digunakan lalu dikeringkan, sangat membantu pembuatan basis dan proses pencampuran. Dalam skala besar proses yang sama juga digunakan, pengadukan adonan dilakukan secara mekanis dan menggunakan wadah pencampur dipanaskan.
Proses kompresi umumnya cocok untuk pembuatan suppositoria yang mnegandung bahan obat yang tidak tahan pemanasan dan untuk suppositoria yang mengandung sebagian besar bahan yang tidak dapat larut dalam basis. Berbeda dengan metode pencetakan pada pengolahan suppositsoria dengan cara kompresi tidak memungkinkan bahan yang tidak dapat larut mengendap. Kelemahan proses ini adalah bahwa mesin suppositoria khusus dibutuhkan dan ada beberapa keterbatasanseperti bentuk suppositoria yang hanya dapat dibuat dari cetakan yang ada saja.

3.      Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan
Dengan terdapatnya cetakan suppositoria dalam macam-macam ukuran dan bentuk, pengolahan suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang rasanya hamper tidak pernah dilakukan. Namun demikian melinting dan membentuk suppositoria dengan tangan merupakan bagian dari sejarah dan seni para ahli farmasi.

1.5        Pengemasan dan Penyimpanan
Suppositoria gliserin dan suppositoria gelatin gliserin umumnya dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah oerubahan kelembapan dalam isi suppositoria. Suppositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpiah-pisah atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah terjadinya hubungan antar suppositoria tersebut dan mencegah perekatan. Suppositoria dengan kandungan obat yang sedikit pekatbiasanya dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti lembaran metal ( alufoil ). Sebenarnya kebanyakn suppositoria yang terdapat di pasaran di bungkus dengan alufoil atau bahan plastic satu per satu. Beberapa diantaranya dikemas dalam strip kontinu berisi suppositoria yang dipisahkan dengan merobek lubang-lubang yang terdapat diantara suppositoria tersebut. Suppositoria ini biasa juga dikemas dalam kotak dorong ( slide box ) atau dalam kotak plastic.
Karena suppositoria tidak tahan panas pengaruh panas, maka perlu menjaga dalam tempat yang dingin. Suppositoria yang basisnya oleum cacao harus disimpan di bawah 300F dan akan lebih baik bila disimpan dalam lemari es. Suppositoria gelatin gliserin baik sekali bila disimpan di bawah 350F. suppositoria dengna basis polietilen glikol mungkin dapat disimpan dalam suhu ruangan biasa tanpa pendinginan. Supositoria yang disimpan dalam lingkungan yang kelembaban nisbinya tinggi mungkin akan menarik uap air dan cenderung menjadi seperti spon sebaliknya bila disimpan dalam tempat yang kering sama sekali mungkin akan kehilangan kelembapannya sehingga akan menjadi rapuh.
1.6        Evaluasi Suppositoria
1.      Appearance
Tes ini lebih ditekankan pada distribusi zat berkhasiat didalam basis suppo.suppo dibelah secara longitudinal kemudian dibuat secara visual pada bagian  internal dan bagian eksternal dan harus nampak seragam.penampakan permukaan serta warna dapat digunakan untuk  mengevaluasi  ketidakadaan :
§    Celah
§    Lubang
§    Pengembangan lemak
§    Migrasi senyawa aktif
(Pharmaceutical Dosage From Disperse SystemVolume 2, Herbert A.Lieberman,1989,hal.552)
2.      Keragaman Bobot
Timbang masing-masing suppo sebanyak 20, diambil secara acak. Lalu tentukan bobot rata-rata. Tidak lebih dari 2 suppo yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari % deviasi, yaitu 5% (BP 2002, Appendix XII H, A.253, FI IV 1995 hal.999)

3.      Waktu Hancur / Disintegrasi
Uji ini perlu dilakukan terhadap suppo kecuali suppo yang ditujukan untuk pelepasan termodifikasi atau kerja lokal diperlama. Suppo yang digunakan untuk uji ini sebanyak 3 buah. Suppo diletakkan dibagian bawah ‘perforated disc’  pada lalat, kemudian dimasukkan ke silinder yang ada pada alat. Lalu diisi sebanyak 4 liter dengan suhu 36-37C  dan dilengkapi dengan stirer. Setiap 10 menit balikkan tiap alat tanpa mengeluarkannya dari air. Disintegrasi tercapai ketika suppo:
a)               Terlarut sempurna
b)               Terpisah dari komponen-komponennya, yang mungkin terkumpul di permukaan air (bahan lemak meleleh) atau tenggelamdi dasar 9serbuk tidak larut) atau terlarut (komponen mudah larut) atau dapat terdistribusi disatu atau lebih cara ini
c)               Menjadi lunak, dibarengi perubahan bentuk, tanpa terpisah sempurna menjadi komponennya, massa tidak lagi memiliki inti padatan yang membuatnya tahan terhadap tekanan dari pengaduk kaca.
                 Suppo hancur dalam waktu tidak lebih dari 30 menit untuk suppo basis lemak dan tidak lebih dari 60 menit untuk suppo basis larut air. (BP 2002, A237, FI IV hal 1087-1088)

4.      Ketegasan / ehancuran, Suppositoria
Tes ini menentukan ketegarn suppo di bawah kondisi tertentu terhadap pemecahan suppositoria dan ovula yang diukur dengan menggunakan sejumlah tertentu massa atau beban untuk menghancurkannya. Tes ini didasarkan untuk suppo dan ovula berbasis lemak. Uji ini tidak sesuai untuk sediaan yang memiliki bahan pembantu hidrofilik, seperticampuran gelatin-giserol.
Metode
Cek apakah alat yang digunakan sudah dalam keadan vertikal atau belum. Alat dipanaskan sampai suhunya 25 C. Sediaan yang akan diuji telah diletakkan dalam suhu  yang sesuai dengan suhu yang akan digunakan minimal 24 jam. Tempatkan sediaan diantara kedua penjepit dengan bagian ujung menghadap ke atas.
Tunggu selama 1 menit dan tambahkan lempeng 200 g pertama. Tunggu lagi selama 1 menit dan tambahkan lempeng berikutnya. Hal tersebut diulang dengan cara yang sama sampai sediaan hancur. Massa yang dibutuhkan menghancurkan sediaan (termasuk massa awal yang terdapat pada alat). Hal-hal yang perlu diperhatikan:
·         Apabila sediaan hancur dalam 20 detik setelah pemberian lempeng  terakhir maka massa yang terakhir ini tidak masuk dalam perhitungan.
·         Apabila sediaan hancur dalam waktu antara 20 dan 40 detik setelah pemberian lempeng terakhir maka massa yang dimasukkan ke dalam perhitungan hanya setengah dari massa yang digunakan, misal 100 gram.
·         Apabila sediaan belum hancur dalam waktu lebih dari 40 detik setelah pemberian lempeng terakhir maka seluruh massa lempeng  terakhir dimasukkan ke dalam perhitungan. (BP2002, A334, Teori dan Praktek Farmasi Indonesia, Leon Lachman, 1989, hal.1192-1193)
5.      Berhubungan dengan pelelehan suppositoria
a.                  Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan suatu ukuran waktu yang diperlukan suppositoria untuk melelh sempurna bila dicelupkan ke dalam penanggas air dengan temperature tetap ( 370C ). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kisaran leleh sempurna dari suppositoria adalah suatu alat disintegrasi tablet USP. Suppositoria dicelupkan seluruhnya dalam penanggas air yang konstan dan waktu yang diperlukan untuk meleleh sempura atau menyebar dalam air sekitarnya diukur (Teori Praktek Famasi Industri, Leon Lachman, 1989, hal. 1191-1192 ).
b.                  Uji Pencairan atau Uji Melunak dari Suppositoria
Uji ini mengukur waktu yang diperlukan suppositoria rectal untuk mencair dalam alat yang disesuaikan dengan kondisi in vivo. Suatu penyaringan melalui selaput semi permeable diikat pada kedua ujung kondensor dengan masing-masing ujung pipa terbuka. Alat pada 370C disirkulasi melalui kondensor sehingga separuh bagian bawah pipa kempis dan separuh bagian atas membuka. Tekanan hidrostatis air dalam alat tersebut kira-kira nol ketika pipa tersebut mulai kempis. Suppositoria akan sampai pada level tertentu dan aktu tersebut diukur untuk suppositoria meleleh dengan sempurna dalam pipa tersebut (Teori Praktek Famasi Industri, Leon Lachman, 1989, hal. 1192 ).
c.                   Pelelehan dan Pemadatan
Pembebasan senyawa aktif dari basisnya adalah fungsi langsung dari suhu melelehnya. Untuk mendapatkan efek terapik yang ideal dari sediaan ini maka pemahaman yang bak terhadap factor-faktor dalam pembuatan sediaan, pada saat perolehan ( atau fusion ) dan pemadatan, akan menentukan bioavailabilitas optimum dari sediaan akhir. Metode yang umum digunakan adalah :
·                     Tabung kapiler terbuka
·                     Tabung U
·                     Titik jatuh
( Pharmaceutical Dosage Form Disperse System Volume 2, Herbert A. Liberman, 1989, hal. 555 )
6.      Keseragaman Kandungan
Sediaan menggunakan uji ini apabila tidak lebih dari 1 sediaan mempunyai kandungan di luar 75-125% rata-rata kandungan. Sediaan tidak dapat menggunakan uji ini apabila terdapat lebih dari 3 sediaan mempunyai kandunag di luar batas 85-115% dari rata-rata kandungan atau apabila satu atau lebih sediaan mengandung lebih 75-125%.
Apabila 2 atau 3 sediaan mempunyai kandungan di luar batas 85-115% tetapi di dalam batas75-115% maka dilkukan penentuan setiap kandungan di dalam 20 sediaan lainnya yang di ambil secara acak. Sediaan di uji apabila tidak lebih dari 3 kandungan sediaan dari jumlah 30 sediaan yang diperiksa berada di uar batas 85-115% rata-rata kendungan dan tidak ada yang berada di luar batas 75-115% rata-rata kandungan. ( BP 2002, A253 )
7.      Penentuan Waktu Pelembekan dari Suppositoria Lipotik
Uji ini dilakukan untuk menentukan waktu yang di butuhkan di dalam air sampai sediaan melembek hingga sediaan tidak mempunyai ketegaran / ketahanan saat berat tertentu diberikan. Metode ini dapat menggunakan beberapa alat. ( BP 2002, A332 )
8.      Metode Uji Disolusi Sediaan Suppositoria
Belum ada metode atau desain alat yang dijadikan standar untuk digunakan dalam laboratorium farmasi. Factor-faktir yang dapat mempengaruhi disolusi farmasi dari sediaan suppositoria : pengaruh surfaktan dan kelarutan, pengaruh viskostas, zat tambahan dan ukuran partikel zat aktif. ( Abdou, Dissolution, Bioavalability and Bioequivalence; TA A673, Teori Praktek Famasi Industri, Leon Lachman, 1989, hal. 1194 )

Fraktur


Definisi
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan, ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

 Etiologi
o   Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.
o   Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
o   Proses penyakit: kanker dan riketsia.
o   Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
o   Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik syok dan tetani).

 Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki–laki yang berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause.
Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera yang disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera terbanyak adalah fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki–laki dengan umur di bawah 15 tahun. Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki–laki daripada perempuan.
Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya akan meninggal karena komplikasi.
Di negara–negara Afrika kasus fraktur lebih banyak terjadi pada wanita karena peristiwa terjatuh berhubungan dengan penyakit Osteoporosis. Di Kamerun pada tahun 2003, perbandingan insidens fraktur pada kelompok umur 50–64tahun yaitu, pria 4,2 per 100.000 penduduk, wanita 5,4 per 100.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Maroko pada tahun 2005 insidens fraktur pada pria 43,7 per 100.000 penduduk dan wanita 52 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia jumlah kasus fraktur  akibat kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000, di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang.

  Patofisiologi
Tulang panggul terdiri dari ilium, iskium, dan pubis, yang merupakan cincin anatomis dengan sacrum. Gangguan dari cincin ini membutuhkan energi yang signifikan. Karena pasukan yang terlibat, patah tulang panggul sering melibatkan cedera pada organ dalam tulang panggul. Patah tulang panggul sering dikaitkan dengan perdarahan parah akibat suplai darah yang luas untuk wilayah tersebut.
Ketika fraktur terjadi, otot-otot yang melekat di tulang menjadi terganggu. Otot tersebut dapat menjadi spasme dan menarik fragmen fraktur keluar dari posisi. Kumpulan otot yang besar dapat menyebabkan spasme otot seperti pada otot femur. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di tulang yang mengalami fraktur juga terganggu dan kerusakan jaringan lunak dapat terjadi. Perdarahan terjadi jika ada gangguan pada pembuluh darah dan tulang yang mengalami fraktur. Kemudian terjadi pembentukan hematoma diantara fragmen fraktur dan peristeum. Jaringan tulang di sekitar luka fraktur mati, sehingga menimbulkan respon inflamasi. Kemudian terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, keluarnya plasthma dan leukosit. Proses ini mengawali tahap penyembuhan tulang.
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak +4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.

  Gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium
     Gejala Klinik
a.       Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang   diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.      Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi  normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
c.       Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah  tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm.
d.      Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e.       Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
     Pemeriksaan Laboratorium
a.       Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.      Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
c.       Hitung darah lengkap: Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
d.      CT scan merupakan pemeriksaan diagnostic yang perlu dilakukan untuk mengkaji injuri intrra abdomen angiografi, pielografi intravena dan pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mengkaji derajat trauma pada organ yang berbeda.
e.       Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
  Diagnosa
Diagnosa fraktur pelvis, diantaranya adalah :
a.       Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan fraktur/trauma.
b.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang neuromuskuler.
c.       Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan alat fiksasi invasive.
d.      Cemas/ takut/ berduka
e.       Gangguan perawatan dini

Standar terapi
    Tahap Penyembuhan Tulang
a.       Tahap pembentukan hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur. Suplai darah meningkat terbentuklah hematoma yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
b.      Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.

c.       Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
d.      Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.
e.       Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoklas, kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
    Prinsip Penatalaksanaan
a.       Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
o   Riwayat kecelakaan
o   Parah tidaknya luka
o   Diskripsi kejadian oleh pasien
o   Menentukan kemungkinan tulang yang patah
o   Krepitus
b.      Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
o   Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau gips
o   Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui pembedahan, biasanya melalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang.
c.       Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi)
d.      Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh cedera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck).

    Tindakan Pembedahan
a.       Orif (Open Reduction And Internal Fixation)
o   Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur
o   Fraktur diperiksa dan diteliti
o   Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka
o   Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali
o   Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku
Keuntungan:
o   Reduksi akurat
o   Stabilitas reduksi tinggi
o   Pemeriksaan struktur neurovaskuler
o   Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal
o   Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat
o   Rawat inap lebih singkat
o   Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal
Kerugian
o   Kemungkinan terjadi infeksi
o   Osteomielitis
b.      Eksternal Fiksasi
Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain: Observasi letak pen dan area, Observasi kemerahan, basah dan rembes, Observasi status neurovaskuler distal fraktur, fiksasi eksternal, fiksasi internal, pembidaian




 Prognosis
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak +4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Penanganan fraktur pelvis tergantung pada tingkat keparahan fraktur. Fraktur pelvis yang tidak stabil, weight bearing ditangani dengan fiksasi eksternal dan ORIF. Pada fraktur yang tidak terlalu parah, non weight bearing dapat ditangani dengan bedrest.

Home