TOKSISITAS
ISONIAZID (INH)
1.
TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase
yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
a. Obat Anti Tuberkulosis (Oat)
Obat
yang dipakai:
·
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
-
Tuberkulosis -
· Rifampisin
· INH
· Pirazinamid
· Streptomisin
· Etambutol
·
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
· Kanamisin
· Amikasin
· Kuinolon
· Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin
+ asam klavulanat
· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia
antara lain :
o Kapreomisin
o Sikloserino PAS (dulu tersedia)
o Derivat rifampisin dan INH
o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
b.
Program Nasional
Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT :
·
Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3
Tahap intensif terdiri
dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan Etambutol ( E )
Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Klemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan Rifampisin
( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan ( 4 H 3R3 ).
·
Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri
dari 2 bulan dengan Isoniasid ( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan
Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan
selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu
diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah pemderita selesai
menelan
obat.
·
Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari
selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama
4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).
( Sumber : Pedoman nasional Penanggulangan
Tuberkulosis )
2.
ISONIAZID
Isoniazid
(INH) adalah turunan asam isonicotinic hydrazide, obat bakterisidal pilihan
untuk tuberkulosis. INH terkenal karena kecenderungannya menyebabkan hepatitis
dengan penggunaan kronis. Overdosis akut isoniazid adalah penyebab umum dari
obat penginduksi kejang
dan asidosis metabolik. (
Olson,1999 )
Isoniazid atau
isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH. Hanya satu derivatnya
yang diketahui, menghambat pembelahan kuman tuberculosis, yakni iproniazid,
tetapi obat ini terlalu toksis untuk manusia. ( Farmakologi dan Terapi UI )

Chemical Structure of Isoniazid
Rumus molekul : C6H7N3O
Berat molekul : 137,14
Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk
hablur putih,
tidak
berbau, perlahan lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya
Titik lebur : 170°C - 173°C
Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam
etanol,
sukar
larut dalam kloroform dan dalam eter
a.
Efek Antibakteri
Isoniazid secara
invitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan KMH (konsentrasi
hambatan minimum) sekitar 0,025-0,05 µg/ml.
pemebelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama
sekali. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yamg sedang tumbuh aktif.
Mikroorganisme yang sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila
kontaknya dengan obat dihentikan. Di antara mikrobakteria atipik biasanya hanya
M. kansasli yang peka terhadap isoniazid, tetapi sensitifitasnya harus selalu
diuji secara in vitro karena kuman ini memerlukan kadar hambat yang lebih
tinggi. Pada uji hewan, ternyata aktivitas isoniazid lebih kuat dibandingkan
streptomisin. Isoniazid
dapat menembus ke dalam sel dengan mudah.
b.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja isoniazid
belum tentu diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, di
antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya
ialah menghambat asam mikolat (mycolicic acid) yang merupakan unsur penting
dinding dinding sel mikrobacterium. Isoniazid kadar rendah mencegah
perpanjangan rantai asam dan menurunkan jumlah asam lemak yang terekstasi oleh
methanol dari mikrobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap kuman peka ke
dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif.
c.
Resistensi
Petunjuk yang ada
memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan
kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Pengobatan
dengan INH ini juga dapat menyebabkan timbulnya timbulnya strain baru yang
resisten. Perubahan sifat dari sensitive menjadi resisten biasanya terjadi
dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk
timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan.
d.
Farmakokinetik
Isoniazid
mudah di absorbsi pada pemberian oral mapun parental. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam
setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan
pada kecepatan metabolism ini
dipengaruhi oleh factor genetic yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat
dalam plasma dan waktu paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang
Eskimo dan Jepang, asetilator lambat terutama pada orang Skandavia, Yahudi dan
Afrika Utara. Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan heterozigot dan
homozigot. Pada penderita yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid
dalam sirkulasi berkisar antara 30-50% kadar pada penderita dengan asetilasi
lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi antara 1 sampai 3 jam. Masa
paruh rata-rata pada asetilator cepat hamper 80 menit, sedangkan nilai 3 jam
adalah khas untuk asetiltor lambat. Masa paruh obat ini dapat menunjang jika
terjadi insufisiensi hati. Perlu ditekankan bahwa kecepatan asetilasi ini tidak
berpengaruh pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat inni diberikan
setiap hati. Tetapi, bila penderita tergolong asetilator cepat dan
mendapat isoniazid seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik.
Isoniazid
mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar
yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam
cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah
mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam
plasma dan obtot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat
tertinggal lama di jatingan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup
sebagai bakteriostatik.
Antara
75-90% isoniazid disekresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalm
bentuk metabolit. Eksresi terutama dlam bentuk asetil isoniazid yang merupakan
metabolit hasil proses asetilasi, dan asam nikotinat yang merupakan metabolit
proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin
dan isonikotinil hidrazon dan dalam jumlah yang kecil sekali berupa
N-metil-isoniazid.
e.
Efek Nonterapi
Reaksi hipersensitivitas
mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbentuk morbiliform,
makulopapular dan urtikaria. Reaksi hematologic dapat juga terjadi seperti
agranulositosis, trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang berhubungan
dengan antibodi antinuclear dapat juga terjadi selama pengobatan, tetapi
menghilang bila pemakaian obat dihentikan. Gejala arthritis seperti sakit sendi
juga dapat terjadi.
Neuritis perifer paling
banyak terjadi dengan dosis isoniazid 6 mg/kgBB/hari. Bila penderita tidak
diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%.
Perubahan
neuropatologik yang berhubungan dengan
efek samping antara lain menghilangnya vesikel sinaps, membengkaknya
mitokondria dan pecahnya akson terminal. Biasanya juga terjadi perubahan pada
ganglia di daerah lumbai dan sacrum. Pemberian piridoksin sangat bermanfaat
untuk mencegah perubahan tersebut. Pada pemberian isoniazid, eksresi piridoksin
meningkat dan konsentrasinya dalam plasma menurun sehingga member gambaran
seperti difisiensi piridoksin.
Isoniazid dapat
mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optic
dengan atropi dapat juga terjadi. Gambaran ialah kedut otot, vertigo, ataksia,
parestesia, stufor dan ensefalopati toksis yang dapat berakhir fatal. Kelainan
mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini diantaranya euphoria,
kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri dan psikosis.
Sedasi yang berlebihan atau inkoordinasi dapat muncul jika isoniazid diberikan
bersama fenitoin karena isoniazid menghambat parahidroksilasi antikonsulvan
tersebut. Efek samping ini hanya terjadi pada penderita asetilator lambat.
Isoniazid dapat
menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya neksrosis
multilobular. Penggunaan obat ini pada penderita yang menunjukan adanya
kelainan fungsi hati kaan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati.
mekanisme . peranan alcohol juga dipertanyakan. Umur merupaka factor yang
sangat penting untuk memperhitungkan resiko efek toksik pada hati. Kerusakan
isoniazid pada hati jarang terjadi pada penderita yang berumur di bawah 35
tahun. Makin tinggi umur seseorang makan sering ditemui kelainan ini. Kalianan
yang paling banyak ditemui ialah meningkatnya aktivitas enzim transaminase.
Penderita yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan
adanya gejala-gejala hepatitis, kalau perlu diperiksa aktivitas enzim serum
glutamic-oxal-acetic transminase (SGOT). Hepatitis karena pemberian isoniazid
ini terjadi antara 4-8 minggu setelah pengobatan dimulai. Pemberian isoniazid
pada penderita dengan riwayat penyakit hati harus dilakukan dengan hati-hati.
Efek samping lain yang
terjadi adalah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati,
methemoglobinemia, tinnitus dan retensi urin. Bila penderita sebelumnya telah
mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin, pemberian INH dapat menimbulkan
anemia. Pengobatan dengan vitamin B6 dosis besar akan menyebabkan
gambaran darah normal kembali.
Dosis
isoniazid yang berlebih sebagai usaha bunuh diri dapat menyebabkan koma,
kejang-kejang, asidosis metabolic dan hiperglikemia.
f.
Status Dalam Pengobatan
Isoniazid masih tetap
merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua ti[pe tuberculosis.
Efek nonterapi dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan yang
cermat pada penderita. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat lain, untuk
tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.
(Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi
edisi 4. Jakarta : Gaya Baru. Hal. 598-600)
g.
Metabolisme Isoniazid

3.
MEKANISME
TOKSISITAS ( Olson, 1999 )
a.
Overdosis
Akut
Isoniazid menghasilkan efek toksik
akut dengan mengurangi brain piridoksal 5-fosfat , yang merupakan bentuk aktif
dari vitamin B6 dan merupakan kofaktor penting bagi enzim asam glutamat
dekarboksilase. Hal ini
menunjukan level yang rendah dari SSP gamma-aminobutyric
acid (GABA), yang merupakan inhibitor
neurotransmitter, yang menyebabkan aktivitas listrik tanpa hambatan dinyatakan
sebagai kejang. INH juga dapat menghambat konversi hepatik laktat untuk piruvat,
memperburuk asidosis laktat dari kejang.
INH diinduksi oleh
GABA deffficiency melalui tiga mekanisme berbeda :
·
INH diubah menjadi
hydrazones, yang menghalangi piridoksin phosphokinase, enzim yang
mengaktifkan piridoksin untuk menjadi piridoksal 5-phosfat
·
Metabolit INH
secara langsung menghambat aktivitas piridoksal-5
·-fosfat
·
INH meningkatkan
ekskresi piridoksin melalui
pembentukan isonicotinylhydrazide
kompleks, yang dieliminasi oleh ginjal.

Mekanisme Toksisitas Isoniazid
(Robert S.
Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks-2007
hal.476 )
Isoniazid menyebabkan
kurang fungsionalnya piridoksin oleh dua mekanisme. Metabolit Hydrazone INH
menghambat piridoksin phosphokinase, enzimnya yang mengkonversi piridoksin
menjadi bentuk aktifnya, piridoksal-5-fosfat. Selain itu, INH bereaksi dengan fosfat piridoksal
untuk menghasilkan sebuah kompleks hydrazone aktif yang diekskresi melalui
ginjal. Hal ini mengganggu sintesis
dan metabolisme
_-aminobutyric acid (GABA), penghambatan neurotransmitter utama
dalam SSP. Deplesi GABA dianggap sebagai etiologi seizure yang diinduksi
isoniazid.

Gambar. 55-1. Metabolisme INH. Status
Acetylator ditentukan oleh N-asetiltransferase polimorfisme.
b.
Toksisitas
Kronis
Neuritis
perifer/Pheripheralneuritis dengan penggunaan kronis diperkirakan terkait
dengan kompetisi dengan piridoksin. Mekanisme
hepatitis kronis dan isoniazid-induced lupus eritematosus sistemik (SLE) tidak
dibahas di sini.
c.
Farmakokinetik
Puncak absorbsi
terjadi dalam 1-2 jam. Volume distribusi 0,6-0,7 L / kg. Eliminasi
melalui metabolisme hati, waktu paruh 0,5-1,6 jam dalam asetilator cepat, dan
2-5 jam dalam asetilator lambat. Kadar puncak isoniazid tercapai satu sampai dua jam setelah konsumsi, meskipun efek
toksik dapat mulai muncul lebih cepat. Obat mudah berdifusi ke seluruh cairan
tubuh dan jaringan, dengan konsentrasi terbesar terjadi di hati. INH dengan dosis
dari 80 sampai 150 mg per kg cenderung
mengakibatkan aktivitas kejang yang parah
4.
DOSIS
TOKSIK ( Olson, 1999 )
a.
Penyerapan Akut
15-40 mg / kg dapat menghasilkan toksisitas. Toksisitas
parah terjadi setelah menelan 80-150 mg / kg.
b.
Dengan
pengunaaan kronis
10-20%
pasien akan berkembang menjadi
toksisitas hati ketika dosis INH adalah 10 mg / kg / hari, tapi kurang dari 2%
pasien akan berkembang menjadi toksisitas ini pada dosis 3-5 mg / kg / hari.
Orang tua lebih rentan terhadap toksisitas kronis.
5.
PRESENTASI
KLINIS ( Olson, 1999 )
a.
Setelah
Overdosis Akut
Mual,
muntah, bicara cadel, ataksia, sensorium depresi, koma, depresi pernapasan, dan
kejang dapat terjadi dengan cepat (biasanya dalam waktu 30-120 menit). Dalam
Gap anion asidosis metabolik (pH 6,8-6,9) sering terjadi setelah satu atau dua
kejang, mungkin karena untuk melepaskan asam laktat otot. Hal ini biasanya akan menghilang setelah
aktivitas kejang dapat dikendalikan. Kerusakan hati mungkin terjadi
setelah overdosis akut, dan dapat tertunda sampai beberapa hari. Hemolisis
dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi glukosa-6-fosfat (G6PD)
dehidrogenase. Rhabdomyolysis dapat menjadi komplikasi pada kejang berulang.
b.
Kronis
terapi
Penggunaan
INH dapat menyebabkan neuritis perifer, hepatitis, reaksi hipersensitivitas
termasuk obat-induced lupus eritematosus, dan defisiensi piridoksin.
6.
DIAGNOSIS
( Olson, 1999 )
Biasanya diperoleh dari riwayat pasien dan
presentasi klinis. Toksisitas isoniazid harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan onset
kejang akut
terutama jika tidak responsif terhadap obat antikonvulsan rutin dan jika
disertai dengan asidosis metabolik .
a.
Level
spesifik
Isoniazid biasanya tidak terdeteksi dalam
skrining toksikologi rutin. Tingkat tertentu dapat ditemukan
tetapi sangat jarang, atau tidak membantu untuk managemen
overdosis akut. A 5 mg / kg dosis menghasilkan puncak konsentrasi INH dari 3 mg
/ L pada 1 jam (1-7 mg / L dipertimbangkan antitubercular). Kadar INH dalam serum lebih dari 30 mg / L berhubungan dengan toksisitas akut.
b. Penelitian laboratorium lain
Termasuk elektrolit, glukosa, BUN,
kreatinin, tes fungsi hati, creatine phosphokinase, dan gas darah arteri.
c. Pengujian
Diagnostik
(Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks-2007 hal.476 )
Toksisitas akut INH
adalah diagnosis klinis yang dapat disimpulkan oleh sejarah dan dikonfirmasi dengan
mengukur konsentrasi serum INH. Toksisitas akut dari INH telah didefinisikan
sebagai konsentrasi serum INH lebih besar dari 10 mg / L pada 1 jam setelah
konsumsi, lebih besar dari 3,2 mg / L pada 2 jam setelah konsumsi, atau lebih besar dari 0,2 mg /
L pada 6 jam setelah konsumsi. Karena pengukuran konsentrasi serum INH tidak tersedia secara
luas, dokter tidak bisa mengandalkan konsentrasi serum untuk mengkonfirmasi
diagnosis atau memulai terapi. Karena risiko hepatitis terkait dengan
penggunaan INH kronis, aminotransferase hati harus secara teratur dipantau
setelah terapi dimulai.
7.
PENGOBATAN ( Olson, 1999 )
a. Emergensi dan Pengobatan Pendukung
·
Amankan jalan napas. Ingatlah ABC (Airway, Breathing, Circulation).
·
Ditangani koma
(lihat p 19), kejang (p 22), dan asidosis metabolik (p 33) jika terjadi. Diberikan diazepam, 0,1-0,2 mg / kg IV, untuk pengobatan kejang.
·
Untuk penanganan Asidosis Laktat :
Asidosis yang berhubungan dengan
toksisitas isoniazid merupakan asidosis laktat sekunder untuk aktivitas kejang. Oleh
karena itu,kejang dikendalikan, asidosis biasanya berkurang sesuai dengan tingkat keparahan. Natrium bikarbonat dapat membantu dalam mengobati asidosis , pemberian dipertimbangkan pada pH kurang dari 7.1. Dosis awal yang baik adalah 1 sampai 3 mEq per kg,
dengan monitoring gas arteri darah
b.
Obat
Spesifik Dan Antidot
Piridoksin
(vitamin B6) adalah antidot khusus dan biasanya berakhir dengan diazepam- untuk pengobatan kejang dan memperbaiki status mental. Diberikan minimal 5 g IV (lihat p
508) jika jumlah INH tertelan tidak diketahui, jika jumlah yang tertelan diketahui diberikan pyridoksin setara gram INH yang tertelan. Pengobatan bersamaan
dengan diazepam dapat meningkatkan hasil. Jika piridoksin tidak tersedia, dosis
tinggi diazepam (0,3-0,4 mg / kg) efektif untuk status epileptikus. Pengobatan dengan Pyridoxine juga dapat
mempercepat resolusi asidosis metabolik.
c.
Manajemen
(Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT. Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks-2007 hal.476 )
·
Manajemen Toksisitas Akut
Manajemen awal memerlukan penghentian
aktivitas kejang, resusitasi cairan, dan stabilisasi dan koreksi tanda-tanda
vital dengan pemeliharaan jalan napas yang baik. Dokter harus
mempertimbangkan pemberian natrium bikarbonat untuk
mengobati asidemia parah dengan pH <7,0. Dekontaminasi gastrointestinal harus
dilakukan dengan karbon/arang aktif jika tidak ada kontraindikasi (Bab8). Antidot
untuk induksi isoniazid disfungsi neurologis adalah
piridoksin. Pyridoxine dengan cepat menghentikan kejang, mengoreksi asidosis
metabolik, dan membalikkan koma. Untuk mengobati
toksisitas akut, dosis intravena
piridoksin dalam gram harus sama dengan jumlah INH tertelan
dalam gram dengan dosis pertama pada
orang dewasa hingga 5 g. Jumlah INH yang tidak diketahui diberikan dengan dosis
piridoksin yang tidak lebih dari 5 g (dosis
pediatrik: 70 mg / kg sampai maksimal 5 g) g. Benzodiazepin harus selalu digunakan
untuk efek sinergis dengan piridoksin. Pasien tanpa gejala yang hadir ke gawat
darurat dalam waktu 2 jam karena mengkonsumsi jumlah racun dari INH profilaksis
harus menerima 5 g piridoksin. Pasien asimtomatik dapat diamati untuk 6-jam
pertama tanda-tanda toksisitas. Toksisitas akut tidak mungkin muncul untuk
pertama kali lebih dari 6 jam melampaui konsumsi. Meskipun hemodialisis telah
digunakan untuk meningkatkan eliminasi INH dalam overdosis akut, dengan tingkat
izin dilaporkan setinggi 120 mL / menit, hemodialisis jarang diindikasikan.
·
Manajemen Toksisitas Kronis
Hepatitis
(didefinisikan sebagai konsentrasi aminotransferase 2-3 kali level dasar) yang
dihasilkan dari terapi akhir INH mandat terapi. Pyridoxine
tidak memulihkan kerusakan hati dan
karena itu, pengawasan dan pengintaian cedera hepatoseluler penting. Neuropati
perifer umumnya dicegah atau diobati dengan 50 mg/hari secara oral piridoksin,
meskipun dosis yang lebih rendah mungkin efektif.
d.
Dekontaminasi
·
Pra-rumah sakit. Diberikan charcoal jika
tersedia. Jangan menginduksi muntah karena onset risiko yang cepat dari koma dan
kejang.
Charcoal pada
awalnya harus diberikan sebagai bubur dengan sorbitol.
Dosis Cahrcoal adalah 30 sampai 100 g untuk dewasa (1 sampai
2 g per kg) dan 15 sampai 30 g untuk anak-anak (1 sampai 2 g per kg). Dosis
sorbitol pada orang dewasa adalah 1 sampai 2 g per kg, dengan dosis maksimum
150 g. Pada anak-anak, dosis sorbitol adalah 1,0-1,5 g per kg dengan dosis
maksimum 50 g.
·
Rumah sakit.
Setelah upaya stabilisasi awal, upaya harus dilakukan untuk
mencegah penyerapan isoniazid dan untuk mempercepat eliminasi obat. Lavage
lambung diindikasikan jika itu bisa dilakukan dalam waktu satu jam menelan
isoniazid.
D. Peningkatan eliminasi ( Olson, 1999 )
Diuresis paksa dan hemodialisis telah
dilaporkan berhasil untuk menangani hal ini, tetapi tidak dibutuhkan untuk beberapa
kasus, karena
waktu paruh
isoniazid relatif pendek (1-5 jam, tergantung pada status acetylator), dan
toksisitas biasanya dapat dengan mudah diatasi dengan piridoksin dan
diazepam. Gejala biasanya dapat diatasi 8-24 jam.
MANAJEMEN TOKSISITAS ISONIAZID
( Romero, Jennifer, et.al. 1998. Isoniazid Overdose: Recognition and Management. Journal of
American Family Pysician )
Banyak
langkah-langkah yang tercantum di bawah ini dapat dilakukan secara bersamaan.
a. Amankan jalan napas. Ingatlah
ABC (Airway, Breathing,
Circulation).
b. Pemberian
obat secara Intravena
c. Untuk kejang:
a. Pada orang dewasa, pemberian diazepam (Valium) intravena dalam dosis dari 5 sampai 10 mg, dan ulangi
dosis jika perlu.
b. Pada anak-anak, pemberian
diazepam secara intravena dengan dosis 0,25-0,40 mg per kg, sampai 10 mg per
dosis. Dosis dapat diulangi jika diperlukan.
d. Dapatkan gas arteri darah. Jika
pH 7,1 atau kurang, diberikan sodium bikarbonat, 1
sampai 3 mEq per kg intravena.
e. Ganti piridoksin:
·
Jika jumlah isoniazid tertelan diketahui, diberikan gram per
gram dosis piridoksin (diencerkan sampai konsentrasi 50 ml per g) intravena
selama lima
sampai 10 menit. Dosis pyridoxine dapat diulang setiap
lima sampai 20
menit. sampai kejang berhenti atau pasien mendapatkan kembali kesadarannya. Pyridoxine juga dapat diberikan untuk mengatasi neurologic defects.
·
Jika jumlah isoniazid tertelan tidak diketahui, berikan 5 g piridoksin
(diencerkan sampai 50 ml per g) intravena selama lima sampai 10 menit.
f.
Lakukan lavage lambung jika dalam waktu satu jam menelan isoniazid. Tetap diingat untuk melindungi jalan napas:
menggunakan endotrakeal tube, atau menempatkan pasien dalam
posisi dekubitus Trendelenburg dan kiri lateral.
g. Diberikan charcoal dan sorbitol satu jam setelah menelan isoniazid:
·
Pada orang dewasa, memberikan 30 sampai 100 g (1 sampai 2 g per kg) dari
charcoal sebagai bubur dengan 1
sampai 2 g per kg sorbitol, hingga 150 g.
Ulangi dosis Charcoal saja.
·
Pada anak-anak, diberikan 15 sampai 30 g (1 sampai 2 g per kg) dari
charcoal sebagai bubur dengan 1,0-1,5 g per kg sorbitol, sampai 50 g.. Ulangi
dosis charcoal saja.
h. Jika metode di atas gagal untuk
mengontrol kejang, pertimbangkan hemodialisis atau administrasi thiopental oleh
ahli anestesi.
i.
Jika gejala tersebut masih ada
pada pasien , periksa darah lengkap, urinalisis, pengukuran
elektrolit, BUN, kreatinin, glukosa, kreatinin kinase dan enzyme hati. Jika
pasien mengalami kerusakan hati yang parah, monitor prothrombin time
DAFTAR PUSTAKA
•
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta :
Gaya Baru.
•
Robert S. Hoffman, MD, FAACT, FACMT.
Manual-of-Toxicologic-Emergencies-Gold-Franks-2007 hal.476
•
Olson, et.al. 1999. Poisoning and
overdose drug. Appleton & lange stamford , connecticut
•
Vonoettingen.1958. Poisoning ( A
Guide to Clinical Diagnosis and Treatment ). London : W.B.Sauders Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar